“Ayah, Nodi laper,” ucapan anakku itu pelan saja. Mengucapnya pun sambil memainkan robot transformer murahan yang dulu kubelikan di lapak amparan depan sekolahnya.
Tapi, kata-kata pelan itu menusuk dalam sekali. Tadi pagi kami sarapan dengan telur dadar, kecap dan nasi putih. Beras tinggal secanting kurang, kutanak dengan rice-cooker. Telur dibagi dua, Nodi dan Tiko lahap sarapan sebelum sekolah. Sekarang sudah jam lima sore. Kami bertiga belum makan apa-apa lagi.
Di ujung kamar kulihat Tiko sedang menulis. Dia mengerjalan PR. Siswa SMP jaman sekarang PR-nya susah-susah. Aku yang drop-out dulu kuliah sosiologi, siwer otak kalau melihat dia mengerjakan soal matematika juga IPA.
Buku pelajarannya, sisa buku tulis tahun kemarin yang disobek. Sekarang harga buku tulis anak sekolah itu sepuluh ribu rupiah. Kalau dibelikan lauk di warung nasi dekat perempatan, bisa buat makan dua kali.
Aku memutar otak setengah mati. Beras terakhir tadi pagi kubeli dengan mengumpulkan koin-koin di celengen Tiko. Cukup untuk sekilo beras dan beberapa butir telur. Dimakan dari sarapan kemarin, sore ini semua bahan tandas. Aku hampir tak tahan untuk tidak menagis.
“Nodi tunggu sebentar ya. Ayah beli makan dulu di warung,” jawabku memaksakan senyum, kecut tapi tetap kupaksa tersenyum. Masa kanak-kanak itu masa bahagia. Mereka tak usah tahu sulitnya hidup karena tak punya uang. Masa untuk bermain dan bergembira. Hikmah bisa didapatkan pelan-pelan.
Kuambil tas slempang dari kamar, isinya sebiji block-note bertulis seminar soal pengentasan kemiskinan, bolpen bermerek hotel tempat seminar itu, ponsel android yang layarnya pecah di ujung kanan, dompet tipis berisi kartu pers dan sederet kartu lain. Tak ada uang di dalamnya. Sama sekali tak kupegang uang sore ini. Kukuatkan hati, sore ini aku mau berutang di warung nasi.
Melangkah pelan menuju perempatan selatan rumah. Kaki ini kurasa berat sekali. Begini rasanya berangkat untuk mengemis belas-kasihan orang. Tiba-tiba HP-ku bunyi.
“Sakti, loe udah di rumah ya? Ada undangan liputan. Konferensi pers soal pencemaran nama baik. Bang Ali yang calon walikota itu, mengadukan akun sosmed yang memfitnahnya selingkuh,” rupanya telepon dari Berli, wartawan koran harian, kawan liputannya di desk politik.
“Dimana? Jam berapa?” aku merespon cepat. Konferensi Pers model begini, biasanya digelar di resto, perut laparku langsung berpikir makanan dan restoran. Materi rilis urusan belakangan. Orang kalau lagi lapar memang sensitif sekali soal-soal terkait makanan.
“Sejam lagi di rumah makan Minang deket balai kota. Langsung ke sana ya. Kurdi-nya anak TV3,” sembur Berli. Kurdi itu kode untuk wartawan yang meng-arrange pertemuan. Asal katanya? Kurdinator!
Dia juga yang memilih wartawan-wartawan mana yang diundang. Kalau tak diseleksi, lokasi konferensi pers akan jadi seramai pasar. Wartawan jaman sekarang, banyak sekali jumlahnya.
“Oke Jim, aku langsung ke sana sejam lagi,” tukasku. Kepercepat langkah ke Warung Yu Atun, prioritas pertama tetap, dua anakku makan dulu.
Tumben, warung Yu Atun lumayan sepi. Aku langsung mendekati dia dan berbisik pelan. “Yu, aku ngutang sih. Dua bungkus nasi sayur, lauknya pake ayam ya. Tolong yah Yu, gajiku dari kantor belum keluar.”
Yu Atun perantauan dari Jawa. Suaminya mati hanyut di sungai waktu mereka baru menikah setahun. Umurnya saat itu baru delapan belas tahun. Mendengar bisikan itu, Yu Atun melirikku judes sekali. “Ngutang? Aduh kok ngutang sih?”
“Tolong yah Yuk, abis ini aku juga ada undangan liputan, konferensi pers. Aku nggak tega pergi kalau Nodi dan Tiko belon makan,” aku merajuk macam adik bungsu mencoba mengambil hati ayuk perempuannya sendiri.
Mendengar soal Nodi dan Tiko, kulihat Yu Atun luluh. Dua anakku itu memang imut. Tetangga suka menjawil-jawil pipi mereka sejak kecil.
Mungkin juga karena kasihan dengan nasibnya. Punya ibu yang lebih memilih bercerai untuk menikah dengan pacar lamanya yang waktu itu jadi manajer pabrik konveksi. Aku marah, tapi mau apa lagi, isteriku silau dengan kijang kapsul, sementara waktu itu –sampai sekarang sih– aku cuma keliling-keliling pakai motor besutan Mandra. Irit bensin tapi tak keren.
Yu Atun langsung membungkuskan dua racikan nasi. Lauknya sayap ayam masak kecap. Paham kalau nasi ini untuk anak-anak, dilewatinya sambal hijau berminyak yang pasti bakal bikin bibir Nodi kepedasan. Sayurnya tumis kangnkung, dikasih bonus oseng-oseng tempe manis. Dua bungkus penuh.
Tak pakai menawarkan, disiapkan juga dua plastik es teh manis dan kerupuk kantongan. “Nodi kalo makan di sini pasti pake kerupuk. Nih, jangan sampe dua anak ganteng itu sakit maag.” Mukanya judes, tapi kutahu hatinya baik. Aku tersenyum, terselip malu juga dan kuterima kantong plastik isi makanan untuk dua anakku itu.
“Berapa Yu?” kataku.
“Dua bungkus nasi ayam, dua puluh delapan ribu. Es teh sama kerupuk bonus. Bayar utangnya yang cepet! Jangan pas bokek dateng ke sini melas-melas, pas pegang uang malah makan di Mekdi. Bayar utang dulu baru gaya,” sindir Yu Atun.
Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala. Bukannya aku baru kali ini berutang? Tapi kok? Ah, sudahlah. Yang penting anak-anakku sore ini kenyang. Mission accomplished. Lanjut ke target kedua. Mendengar celotehan politikus ambisius yang sedang nafsu mau jadi walikota.
“Thanks yah Yu, kalau sore ini ada rejeki langsung kubayar. Kalau belon, yah besok pake uang kasbon di redaksi,” ucapku mengirim senyum manis buat dia, sok manis banget.
Rumah makan khas Minang itu tak terlalu ramai. Tentu beda suasananya kalau sedang jam makan siang. Membludag orang-orang makan enak. Kalau disandingkan menu kuliner internasional dengan sepiring nasi Padang di jam makan siang pas sedang lapar-laparnya, bisa dipastikan maka kebanyakan akan memilih nasi putih panas mengebul dengan kuah kuning berminyak dan kikil sapi yang kenyal.
Aku masuk setelah memarkir motor jauh di belakang. Kalau mau parkir dekat pintu depan, maka mobil adalah prioritas, apalagi kalau mobil mewah, kadang diperbolehlan stand-by dengan mesin menyala.
Tampak sudah berkumpul beberapa wartawan yang biasa liputan di balai kota. Kebanyakan dari wartawan media online. Sebagai wartawan koran cetak harian, ada semacam gengsi tersendiri kalau duduk bareng mereka.
“Jim! Loe duduk sini. Sebentar lagi mau dimulai kok,” terdengar Berli memanggilku keras-keras. Mendengar itu aku langsung menuju meja Berli dan beberapa kawan lain.
Duduk memilih di kursi yang paling dalam, Berli tampak mempersilahlan aku makan dulu. “Sakti, loe udah liat status FB yang mau diaduin sama Bang Ali? Sekarang sih kayaknya status itu udah di-hidden, tapi skrinsyut-nya udah nyebar kemana-mana,” cerocos Berli.
Sohibku itu langsung menanggok secentong besar nasi putih digabungkan dengan piring lebarnya yang sudah ada setanggok. Memilih sebentar, tangannya menjulur menjangkau ayam goreng pop dan menuangkan kuah gulai daging terus ditambah lagi dengan sambal cabe ijo yang berminyak. Terakhir piring dipenuhi Berli dengan daun singkon.
“Ayo makan Jim. Nanti kalau konferensi pers sudah mulai, kita susah makan dong. Kan nggak enak mau tanya-tanya pas mulut ada potongan daging ayam goreng,” sembur Berli.
“Bener Jim, mulut akan susah bicara kalau sedang disumpal makan enak,” ucapku. Sejatinya sebuah sindiran, tapi buat orang yang sel otaknya sedang dirangsang aroma rempah sayur, sedap daging dan pulen nasi, tak ada kata filosofis yang bakal nyangkut. Yang penting mbadok!
Melihat Berli makan dengan decak mulut berkecap-kecap, keriuk perut berontak. Tapi idealisme yang diajarkan berulang, berjenjang di kantor dan organisasi profesi menahanku untuk ikut makan. “Makan enak dari narasumber tendensius itu sama dengan suap!” itu kata Bang Rama, redpel koranku bekerja saat pelatihan jurnalistik internal kantor. Aku memilih menuang air putih saja.
Di sebelah, terlihat Berli sudah menambah lagi, memulai porsi kedua. Sebelum memasukkan suapan pertama di makan babak kedua, Berli teriak sembari menengok ke pelayan restoran. “Uda, tolong bawakan rokok gepe dua bungkus ya,” ditimpal anggukan dan tak seberapa lama rokok sudah diantar ke meja.
“Ini jelas politis! Semua orang juga tau kalau Adrian itu timses calon sebelah. Dia mau cari gara-gara dengan gua? Gua polisiin. Status fesbuk itu bakal bikin dajal keparat itu masuk penjara,” ucap Bang Ali berapi-api.
Kasus ini bermula saat Adrian, dulu sebetulnya satu partai dengan Bang Ali, pernah jadi anggota dewan, tetapi kemudian di-PAW. Kabar burung beredar dia berseteru dengan ketua partainya sendiri, kakak sulung Bang Ali. Nah, Adrian bikin status FB yang menurut Bang Ali memfitnah.
“Jadi gua mau, kawan-kawan blow-up kasus ini gede-gede. Gua mau kasih tau siapapun yang macem-macem sama gua, nasibnya gua jamin apes. Masuk bui anak itu,” keras ucapan Bang Ali.
Lalu dia mulai cerita banyak soal susahnya sosialisasi mau jadi walikota. Selain butuh uang banyak, black-campaign jadi masalah serius. Dari tuduhan selingkuh, gosip soal dia pakai narkoba sampai jadi makelar proyek pemda karena walikota sebelumnya itu masih sepupu.
Sembari mengoceh, kurdi berkeliling menyalami semua wartawan yang hadir. Tiap salaman yang disampaikan diselip amplop tebal. Wartawan muda paling cupu dari media yang krunya tak lebih dari jumlah jari tangan saja terlihat menerima sedikitnya sejuta. Itu prediksi Sakti.
Wartawan TV3 itu juga sohib. Seangkatan liputan di Balaikota semenjak kami sama-sama baru jadi wartawan sebelas tahun silam. Saat menghampiriku matanya berkedip-kedip. Kulirik dia memilih amplop yang lebih tebal dari lainnya. Dia merapatkan badan dan berbisik. Ada nada antagonis di suaranya. “Kalau berita ini masuk halaman satu dengan foto Bang Ali, nanti gua tambah lagi Jim. Lima rebu neh!” bisiknya.
Aku menengok dia dan menatap dengan sorot tajam. Kuhela nafas tegas, kubalas bisikannya, “Nggak usah Jim, loe paham prinsipku soal amplop berita kan,” berikutnya kualihkan pandangan ke arah Bang Ali yang masih semangat cerita soal kampanyenya yang menyasar segmen anak-anak muda.
Kudengar di belakangku ada suara dengusan. “Huh! Sok idealis!” Aku diam saja, mencoba tidak peduli. Beberapa menit kemudian konferensi pers selesai, semua wartawan bersalaman dengan Bang Ali, banyak yang sungkem cium tangan, wajah-wajahnya girang.
Kupacu sepeda motorku cepat-cepat. Deadline berita tak sampai sejam lagi. Mengetiknya kuhitung butuh sepuluh-lima belas menit, redpel akan mengecek sebelum dikirim ke server pracetak. Tapi kalau beritaku sih biasanya press-klaar. Bang Rama paling hanya perlu mengganti judul dengan diksi yang lebih mengundang.
Sampai di kantor, tinggal Bang Rama saja di ruangannya. Ruangan redaksi sudah kosong. Kelihatannya seluruh redaktur halaman sudah menyelesaikan porsi malam ini. Barangkali mereka di belakang dengan mesin cetak sambil merokok-ngopi atau pulang.
Aku langsung duduk di komputer paling sehat di kantor, yang lain kadang-kadang suka blue-screen saat asik mengetik. Kubuka dengan mengetik lead yang langsung tanpa tedeng aling-aling.
Ali Setia Wardhana (46) mengancam akan memolisikan Adrian Mahmud (44) terkait status FB yang menuding calon walikota asal partai petahana itu selingkuh dengan mahasiswi salah satu universitas swasta.
Perseteruan ini ditengarai terkait perebutan pengaruh dua tokoh politik yang sedang berebut rekomendasi partai dalam pemilihan yang akan digelar enam bulan mendatang.
Kata demi kata kuketik, tak sampai lima belas menit naskah sudah selesai. Terakhir kumasukkan kode wartawan milikku.
“Bagus Sakti. Sini biar Abang yang selesaikan dan langsung masuk ke server pakai login Abang,” ternyata Bang Rama ada di belakangku saat aku mengetik.
Rama dengan cekatan memecah paragraf demi paragraf mencari salah ketik dan penempatan tanda baca yang salah. Tapi beritaku benar-benar sudah press-klaar. Berikutnya dia menengok dan memuji tulisanku.
“Kamu memang wartawan andalan,” puji Rama, aku yakin dia tulus. Kemudian dia mengganti login komputer dan dengan login baru berita yang baru selesai kuketik bisa diposting di server utama yang terkoneksi dengan ruang pracetak dan percetakan.
“Sakti kamu ikut ke ruangan Abang sekarang,” ucap Rama. Aku mengangguk dan mengikuti langkah-langkah panjang salah satu wartawan yang kukagumi di kota ini.
Rama kulihat membuka laci meja kerjanya, mengambil sebuah amplop. Kaget, itu amplop yang tadi ditawarkan ke aku saat konferensi pers. Rama mengeluarkan segepok uang dari sana, kurasa lima juta rupiah. Diambilnya beberapa lembar, dihitungnya sekali lagi. Sejuta lima ratus.
“Sakti, tadi aku dikontak admin. Katanya kamu mau kasbon. Ini bukan kasbon, ini gaji kamu bulan kemaren,” ucap Rama. Dia kemudian mengambil setumpuk uang yang sama jumlahnya, sejuta lima ratus lagi. Untuk bulan depan, imbuh dia.
Terakhir dia menyerahkan sisa uang dua juta dan meraih tanganku dengan gamit yang sangat erat. “Kumohon kamu ambil uang ini, kasih Tiko sama Nodi sepatu dan tas sekolah baru,” dia menatap dalam-dalam mataku seperti memberi instruksi tegas.
Aku tak bicara apa-apa. Setelah tatapan tajam itu aku menunduk. Bang Rama duduk di kursinya, menyulut rokok dan tampak jauh lebih rileks.
“Aku izin pulang Bang, udah malam,” ucapku. Dia menjawab dengan mengangguk, memutar kursinya, meremas amplop dan memasukkan amplop teremas itu ke kotak sampah di bawah meja komputernya.
Sampai di parkiran, aku pakai jaket dan mengetik pesan WA ke Bang Rama.
[Bang, thanks soal gaji bulan kemaren dan gaji bulan ini yang advance. Thanks banget. Soal duit sepatu Tiko sama Nodi tadi, besok pagi kutransfer balik ke rekening Abang. Maaf yah Bang, bukan sok idealis, tapi Abang paham kan]
Pesanku rupanya langsung centang biru dan kulihat di layar ada notifikasi Bang Rama mengetik. Tapi kemudian notifikasi itu hilang, artinya Bang Rama tak jadi membalas WA-ku.
Ku-starter motor, pulang ke rumah sembari terbayang-bayang wajah almarhum ayahku yang sedang berkata, “Kalau mau kaya jangan jadi wartawan. Wartawan itu tak mungkin kaya. Tapi wartawan itu punya harga diri. Harga diri harga mati,” itu ucapannya beberapa hari sebelum wafat karena serangan jantung, dua belas tahun yang lalu. (*)
Discussion about this post